Mengenal Lahan Gambut dan Upaya Restorasinya di Indonesia
Rawa gambut adalah ekosistem yang dicirikan oleh akumulasi serasah atau sisa tanaman yang membusuk di bawah kondisi terendam air. Lahan gambut memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di sekitarnya seperti mengatur tata air, penyimpan karbon, dan sumber kehidupan bagi penduduk setempat. Selain itu, lahan gambut juga merupakan habitat dari beberapa spesies yang terancam punah seperti harimau Sumatera, orangutan, dan buaya Sinyulong.
Berdasarkan data Indonesian National Carbon Accounting System , pada tahun 2011 luas lahan gambut di Indonesia mencapai 14.834.000 ha (INCAS – Inventarisasi Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca Nasional pada Hutan dan Lahan Gambut di Indonesia, 2015). Terkait hal tersebut, lahan gambut di Indonesia menempati peringkat pertama lahan gambut terluas di wilayah tropika dan keempat terbesar di dunia menurut versi International Peatland Society.
Rusaknya jutaan hektar lahan gambut di Indonesia beberapa dekade terakhir merupakan ancaman serius bagi lingkungan. Eksploitasi yang tidak memperhatikan karakteristik asli gambut menjadi pemicu utama kerusakan yang terjadi. Praktik kanalisasi adalah bentuk nyata yang seringkali dijumpai di area gambut. Pembuatan kanal mengakibatkan air yang membasahi tanah gambut keluar. Apabila praktik ini berlangsung terus menerus maka lama kelamaan gambut menjadi kering dan mudah terbakar.
Gambar 1. Sekat kanal di salah satu aliran kanal Desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Riau (Photo by Firda)
Pada 6 Januari 2016, pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut , lembaga khusus yang bertugas menangani pemulihan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut yang rusak–terutama akibat kebakaran hutan. Lembaga nonstruktural ini bertugas di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI. Wilayah kerja yang saat ini sedang ditangani oleh BRG antara lain Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Papua.
Nugroho Priyono selaku Kepala Kelompok Kerja Bidang Penelitian Restorasi pada Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut, menuturkan bahwa BRG menerapkan pendekatan 3R (Rewetting, Revegetation, dan Livelihood Revitalization) dalam menjalankan tugasnya.
- Rewetting atau upaya pembasahan gambut kembali. Program ini dilakukan dengan cara membangun canal block untuk menahan laju penurunan muka air tanah. Pembuatan canal block adalah solusi jangka pendek untuk mencegah kebakaran lahan.
- Revegetation yaitu penanaman tanaman asli gambut di area yang sudah dialih fungsi. Dengan begitu, lahan gambut tetap bisa produktif tanpa harus dikeringkan. Tanaman ramah gambut yang ditanam juga memiliki nilai ekonomi, misalnya sagu. Tanaman sagu berguna sebagai bahan pangan, bahan bakar hayati (biofuel), dan pakan ternak. Selain tanaman sagu, ada juga jelutung yang dapat dimanfaatkan kayunya serta sebagai bahan dasar kosmetik.
- Livelihood Revitalization adalah salah satu langkah yang ditempuh BRG untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di area gambut. BRG membuat program edukasi pada warga lokal mengenai teknik budidaya, misalnya beternak ikan patin dan nila. Tujuannya agar masyarakat tidak melulu bergantung pada sektor perkebunan saja.
Upaya-upaya pelestarian gambut tersebut memerlukan sinergisitas dari banyak pihak. Untuk pendanaan pengelolaan dan restorasi lahan gambut yang mencapai angka US$750-US$1.000 per hektar, BRG menyusun beberapa strategi. BRG melakukan kerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Selain itu, BRG juga berusaha membuat skema bisnis dengan memanfaatkan penjualan karbon dan komoditas asli gambut serta mencari investor swasta, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kontributor : Firda Nabila Nur Azizah
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!