Hutan kota, pentingkah bagi kita?

Seringkah Anda merasakan teriknya matahari disaat jeda lampu di persimpangan jalan? atau turut merasakan asap hitam yang keluar dari knalpot bus kota? Ya, hal tersebut memang sangat mengganggu kenyamanan kita sebagai pengguna jalan, terutama di Kota Yogyakarta yang notabene didominasi pengguna sepeda dan sepeda motor. Seakan belum cukup memberikan penderitaan, kemacetan disaat jam berangkat dan pulang kantor juga turut membuat tekanan batin. Lantas, apa hubungan hutan kota dengan berbagai permasalahan urban tersebut?

Banyak orang yang beranggapan bahwa hutan kota hanyalah pohon-pohon perindang jalan. Sejatinya, hutan kota memiliki sistem yang lebih komplek seperti hubungannya terhadap berbagai organisme, tanah, air, dan kualitas udara di sekitar kota. Hutan kota termasuk dalam area ruang terbuka hijau dengan berbagai manfaat. Pada awal abad ke-19, hutan kota digunakan sebagai tempat rekreasi oleh bangsawan Eropa. Pada pertengahan abad ke-20, pengunaannya semakin meningkat diiringi kesadaran masyarakat dalam kebutuhan aktivitas luar ruang (Arsal and Johar 2016). Hingga dewasa ini, mudah kita jumpai hutan-hutan kota di berbagai belahan dunia yang muncul akibat kesadaran dalam mencegah dampak pemanasan global yang kian parah.

Berdasarkan penelitian Livesley, Mc Pherson dan Calfapietra pada tahun 2016, hutan kota memiliki 4 peran utama: 1) Peran dalam pengaturan suhu yang nyaman bagi manusia, 2) Peran dalam sistem hidrologi, 3) Peran dalam regulasi polusi tanah dan air, dan 4) Peran dalam regulasi polusi udara. Keempat manfaat tersebut berawal dari pentingnya suatu pohon dalam menahan berbagai dampak negatif yang timbul di lingkungan perkotaan. Keempat manfaat tersebut dapat dirangkum dalam gambar berikut.

Gambar 1. Peran hutan kota dan fungsinya di tingkat individu pohon, jalanan, dan kota (Livesley, Mc Pherson, and Calfapietra 2016)

Berdasarkan gambar tersebut, dapat diamati bahwa satu individu pohon yang berada di lingkungan perkotaan sangat bermanfaat untuk menyediakan suasana yang lebih sejuk sekaligus menyaring polusi serta menurunkan jumlah air hujan yang jatuh ke jalan. Apabila ditingkatkan ke skala jalanan, pepohonan menambah manfaat untuk memberikan habitat unik bagi berbagai organisme dan menghemat penggunaan energi di bangunan. Sehingga dalam skala kota, akan didapatkan penurunan suhu perkotaan, penurunan polusi partikulat (materi sangat kecil yang bisa masuk hingga ke paru-paru, contoh: debu semen), dan penurunan limpasan air serta meningkatkan penyerapan air di tanah. Selain itu, hutan kota juga mampu menyediakan berbagai tanaman yang bisa digunakan untuk makanan, kesehatan, dekorasi, maupun kepentingan spiritual. Tanaman-tanaman yang dimaksud meliputi Mahonia aquifolium, Malus domestica, Typha latifolia, dan lain sebagainya (Poe et.al. 2013). Belum lagi fungsinya sebagai penurun kebisingan. Menurut Nowak (2016), desain penanaman dengan kombinasi pepohonan dan semak dalam lebar 30 meter mampu menurunkan kebisingan hingga 50% atau lebih (6-10 desibel) dan pada penanaman dengan lebar 3 meter saja mampu menurunkan kebisingan 3-5 desibel. Perlu diketahui bahwa kebisingan pada kendaraan bermotor mencapai 100 desibel, hal tersebut berbahaya apabila paparan terhadap manusia mencapai 8 jam (IAC Acoustics 2018).

Manfaat yang diperoleh oleh manusia baik secara langsung maupun tidak sangat berkontribusi terhadap efektivitas dalam bekerja dan tingkat kenyamanannya. Walaupun demikian, terdapat berbagai ancaman yang akan mempengaruhi keberlangsungan hidup dari hutan kota. serangga dan penyakit, kebakaran, tanaman invasif, kebutuhan lahan permukiman, polusi, perubahan iklim, dan tentu saja manajemen yang tidak benar (Nowak 2016). Manajemen yang kurang tepat mampu menimbulkan bahaya-bahaya lain seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Maka dari itu, kebutuhan akan hutan kota kembali lagi ke pribadi kita masing-masing. Apakah kita benar-benar membutuhkan hutan kota? Jika iya, apakah kita juga mampu turut serta dalam menjaga keberlangsungan hidupnya? Tentu hanya Anda sendiri yang mampu menjawabnya.

Kontributor : Aruna Bagas Kurniadi

Referensi :

Arsal, D. And Johar, F. 2016. Challenges of urban forest development in Makassar City Indonesia. Imperial Journal of Interdisciplinary Research. Vol 28 (8): 1320-1325.

IAC acoustics. 2018. Comparative examples of noise levels. [internet].  http://www.industrialnoisecontrol.com/comparative-noise-examples.htm

Livesley, S.J., McPherson, E.G., Calfapietra, C. 2016. The urban forest and ecosystem services: impacts on urban water, heat, and pollutin cycles at the tree, street, and city scale. J. Environ. Qual. 45: 119-124. DOI: 10.2134/jeq2015.11.0567.

Nowak, D. 2016. Chapter 4: Urban Forest. Assessing the sustainability of agricultual and urban forests in the United States. 37-52.

Poe, M.R., McLain, R.J., Emery, M., Hurley, P.T. 2013. Urban forest justice and the rights to wild foods, medicines, and materials in the city. Hum Ecol. 41: 409-422. DOI: 10.1007/s10745-013-9572-1.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.