Hutan Tanaman Rakyat dalam Mengurangi Erosi Tanah

Hutan Tanaman Rakyat (HTR) merupakan program besutan pemerintah pusat dalam menangani dua hal, yakni masalah ekonomi masyarakat dan masalah lingkungan. Secara resmi, definisi dari HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan[2]. HTR berbeda dengan Taman Nasional dan lahan pertanian pada umumnya, karena HTR secara spesifik mewajibkan pemilik lahan untuk menanami lahannya dengan pohon namun pohon tersebut dapat ditebang untuk dijual, dengan syarat bahwa lahan HTR harus ditanami kembali dengan pohon sesuai dengan ketentuan yang berlaku. HTR memberikan jaminan dan legalitas hukum bagi masyarakat yang ingin memiliki lahan yang khusus digunakan untuk menanam pohon.

HTR menjadi penting karena menurut data BPS tahun 2010, ada sekitar 48,8 juta orang yang tinggal dekat dengan hutan dan sekitar 10,2 juta orang dari mereka dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Dari 84,8 juta penduduk, kurang lebih 6 juta orang memiliki mata pencaharian yang berkaitan langsung dengan hutan.  Program HTR memberikan jatah lahan 15 Ha bagi tiap kepala keluarga, dengan total lahan yang disediakan mencapai 5,4 juta Ha. Hal ini memberi 360.000 kepala keluarga bagian lahan HTR, dan berpotensi meningkatkan tingkat ekonomi bagi 1,8 juta masyarakat miskin (dengan asumsi satu keluarga terdiri dari 5 anggota)[1].

Selain masalah ekonomi, HTR dibentuk untuk mengatasi permasalahan lingkungan, terutama masalah erosi tanah. Erosi tanah merupakan peristiwa lapisan tanah atau bagian tanah yang hilang atau terkikis, berpindah dari suatu tempat ke tempat lain oleh air dan angin[22]. Erosi tanah termasuk salah satu masalah penting di negara beriklim tropis karena tingkat curah hujan yang tinggi[18].

Erosi tanah juga diperparah dengan adanya pertanian[18], terutama pertanian yang dilakukan di lereng bukit[19]. Sebagai contoh, erosi tanah di Citanduy, Jawa Barat, adalah sebesar 103 t ha/tahun pada tahun 1992. Hal ini lebih tinggi dari ambang batas erosi yang ditargetkan pemerintah, yakni sekitar 10 sampai 14 t ha/tahun[20]. Erosi tanah yang terlalu besar dapat mengurangi produktivitas suatu lahan. Kazakhstan pada tahun 1960-an menerapkan progam pertanian gandum skala besar pada lahan subur seluas 25 juta ha, dibandingkan 18,8 juta ha lahan pertanian gandum Amerika Serikat pada tahun 2014. 40 tahun kemudian, lapisan humus Kazakhstan hanya tersisa sepertiga dari awalnya. Akibatnya, produktivitas gandum Kazakhstan hanya 1,07 t ha/tahun, dibandingkan dengan produktivitas gandum Amerika Serikat yang mencapai 3,05 t ha/tahun[21].  Program HTR diharapkan dapat mengatasi kedua hal ini secara bersamaan.


Gambar 1. Erosi di lapangan (a), (b) erosi dengan klasifikasi tingkat ringan sampai sedang, dan (c) erosi tebing sungai.

Gambar diatas menunjukkan kejadian erosi dilapangan dengan tingkat erosi yang ada, yakni dari tingkat ringan sampai sedang, yang ditunjukkan dengan telah terbentuknya parit-parit dengan kedalaman 8 hingga 30 cm. Gambar diatas juga menunjukkan adanya erosi pada tebing sungai yang dibuktikan dengan ditemukannya bukti debris pada ujung-ujung lereng dan anak sungai [19].

Program HTR menekankan persentase komposisi jenis tanaman sebesar ±70% untuk tanaman hutan berkayu (tanaman yang kayunya dimanfaatkan) dan ±30% untuk tanaman budidaya tahunan berkayu (tanaman yang organ lain selain kayu yang dimanfaatkan)[1]. Dari beberapa tanaman yang direkomendasikan oleh Dinas Kehutanan, dua jenis tanaman yang disarankan[2], dan diikuti oleh pemilik lahan, adalah sengon (Paraserianthes falcataria) dan mahoni (Swietenia macrophylla), setidaknya dari hasil pengamatan penulis di lokasi KKN penulis di pedalaman Cilacap, Jawa Tengah dan lokasi pengambilan data skripsi di Mangunan, DIY. Kedua tanaman tersebut dipilih karena bernilai ekonomis tinggi, masa panen yang relatif singkat (khusus untuk sengon), dan mudah dalam perawatannya[3]. Namun, apakah pemilihan spesies ini dapat memberikan layanan ekologis, terutama penanggulangan erosi tanah, masih menjadi bahan perdebatan.

Sengon merupakan tanaman asli Indonesia bagian timur yang dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah[4]. Kayu sengon biasanya digunakan untuk mebel, palet, kayu packing, dan kayu lapis (plywood)[4]. Sengon cepat tumbuh, dapat melakukan fiksasi nitrogen[4], dan mudah berkecambah, sehingga telah dianggap sebagai spesies invasif[5][6] yang dapat mengganggu ekosistem lokal. Mahoni adalah tanaman mahoni adalah tanaman asli Amerika Latin yang hampir punah di daerah asalnya[7[. Mahoni ini mulai masuk ke Indonesia di tahun 1870. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi lahan Indonesia[7]. Kayu mahoni ini dimanfaatkan terutama untuk pembuatan mebel dan kabinet kualitas tinggi, serta panelling[7]. Mahoni memiliki efek alelopati pada daun kering yang telah berguguran[8] sehingga dapat menghambat perkecambahan benih spesies lain[9].

Namun dibalik segala potensi dari kedua spesies tersebut untuk  mengganggu ekosistem lokal, penanaman sengon dan mahoni, terutama jika seresah daun dari kedua tanaman tersebut tidak dibersihkan, dapat mengurangi erosi tanah secara nyata[10][11]. Lahan yang ditanami hanya sengon memiliki tingkat erosi tanah 0,8 t ha/tahun jika seresah dibiarkan, dan dapat melonjak menjadi 79,8 t ha/tahun jika seresah dihilangkan[10]. Hal yang serupa juga ditemukan pada mahoni. Tingkat erosi pada lahan dengan tegakan mahoni berumur 9 tahun lebih rendah 44% dibandingkan lahan terbuka[11].

Gambar 2. Seresah lantai hutan yang dibersihkan (Gambar A), dan seresah lantai hutan yang dibiarkan (Gambar B).

Gambar diatas menunjukkan tentang manajemen lantai hutan pada lahan yang ditanami Eucalyptus muda (dibawah 10 tahun), yakni dengan membersihkan seresah di lantai hutan digambar A dan gambar yang menunjukkan saat seresah dibiarkan (gambar B). Hal ini diharapkan dapat membantu mencegah erosi tanah sekaligus meningkatkan biodiversitas[24]

Pola penanaman yang diterapkan pemilik lahan HTR terbilang cukup sederhana, yaitu bibit pohon ditanam berbaris dengan jarak tertentu. Sebuah lahan hanya ditanami satu jenis pohon, atau biasa disebut monokultur. Monokultur merupakan sistem bercocok tanam dengan hanya menggunakan satu jenis tanaman pada suatu lahan. Sebagian besar HTR menerapkan sistem karena biaya perawatan dan penebangan yang rendah[3][12], sehingga banyak diterapkan pada lahan penanaman pohon baik yang dilakukan perorangan[3] maupun perusahaan[13]. Namun, monokultur dapat meningkatkan kemungkinan terjangkit penyakit dan hama[12], merubah kadar nutrient dan keasaman tanah[14], mengurangi biodiversitas[15] dan menciptakan green desert[16], serta kemampuan mengurangi erosi tanah yang lebih rendah dibandingkan hutan alami[17].

Beberapa peneliti melihat bahwa suatu lahan, yang bahkan hanya ditanami satu jenis pohon, merupakan pilihan yang lebih baik (lesser evil) dibandingkan dengan lahan terbuka ataupun lahan pertanian konvensional[23][24]. Keberadaan pohon tersebut dapat mengurangi erosi tanah secara signifikan, dan pada beberapa kasus, memiliki tingkat biodiversitas yang tinggi[23][24]. Solusi terbaik untuk menangani erosi tanah adalah dengan penanaman pohon spesies lokal berbagai jenis, sehingga dapat terbentuk hutan alami. Namun, bila hal ini tidak memungkinkan, maka disarankan penanaman pohon secara monokultur seperti pada HTR dengan tidak membersihkan lantai hutan dan juga tidak menghilangkan seresah tanaman yang ada.

Kontributor : Dimas

Ucapan terima kasih kepada Nanang Husin yang telah membantu editorial artikel ini

 

Sumber

  1. Prasetyo, Agus Budi. 2014. Hutan Tanaman Rakyat. http://bp2sdmk.dephut.go.id/emagazine/index.php/umum/19-hutan-tanaman-rakyat.html . Diakses 17 Juni 2018
  2. PP no. 6 tahun 2007 bab 1 pasal 1: 19
  3. Wawancara pribadi penulis dengan pemilik lahan
  4. Krisnawati, H., E. Varis, M. Kallio, M. Kanninen. 2011. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen: Ecology, silviculture and productivity. CIFOR: Bogor
  5. Anonimous. Falcataria moluccana (batai wood). https://www.cabi.org/isc/datasheet/38847 . Diakses 17 Juni 2018
  6. Anonimous. Falcataria moluccana. https://wiki.nus.edu.sg/display/TAX/Falcataria+moluccana . Diakses tanggal 17 Juni 2018
  7. Krisnawati, H., M. Kallio, M. Kanninen. 2011. Swietenia macrophylla King: Ecology, silviculture and productivity. CIFOR: Bogor
  8. Mukaromah, A. S., Y. A. Purwestri, Y. Fujii. Determination of Allelopathic Potential in Mahogany (Swietenia macrophylla King) Leaf Litter Using Sandwich Method. Indonesian Journal of Biotechnology (21)2
  9. Baguinon, N. T., M. O. Quimado, G. J. Fransisco. Country report on forest invasive species in the Philippines. http://www.fao.org/docrep/008/ae944e/ae944e09.htm . Diakses 19 Juni 2018
  10. Ambar, S. 1986. Conversion of forest lands to annual crops: an Indonesian perspective. In: Land Use, Watersheds, and Planning in the Asia-Pacific Region. FAO RAPA report 1986/3. FAO, Bangkok, pp. 95–111.
  11. Mashudi, M. Susanto, L. Baskorowati. Potensi Hutan Tanaman Mahoni (Swietenia macrophylla King) dalam Pengendalian Limpasan dan Erosi. Jurnal Manusia dan Lingkungan (23)2
  12. Felton, A., U. Nilsson, J. Sonesson, A. M. Felton, J. Roberge, T. Ranius, M. Ahlström, J. Bergh, C. Björkman, J. Boberg, L. Drössler, N. Fahlvik, P. Gong, E. Holmström, E. C. H. Keskitalo, M. J. Klapwijk, H. Laudon, T. Lundmark, M. Niklasson, A. Nordin, M. Pettersson, J. Stenlid, A. Sténs, and K. Wallertz. 2016. Replacing monocultures with mixed-species stands: Ecosystem service implications of two production forest alternatives in Sweden. Ambio. 2016 Feb; 45(Suppl 2): 124–139. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4705065/ . Diakses 17 Juni 2018
  13. Anonimous. 2009. Monoculture forestry. https://web.archive.org/web/20090217085101/http://www.ag-network-chile.net/Monoculture%20Forestry.htm . Diakses 19 Juni 2018
  14. Purwanto, I. 1990. Effects of some forest tree monoculture stands on chemical and physical soil properties. http://agris.fao.org/agris-search/search.do?recordID=ID9300170 . Diakses tanggal 19 Juni 2018
  15. Hartley, M. J. 2002. Rationale and methods for conserving biodiversity in plantation forest. Forest Ecology and Management 155: 81-95
  16. The Guardian. 2011. ‘Green desert’ monoculture forests spreading in Africa and South America. https://www.theguardian.com/environment/2011/sep/26/monoculture-forests-africa-south-america . Diakses 19 Juni 2018
  17. Zheng, H., F. Chen, Z. Ouyang, N. Tu, W. Xu, X. Wang, H. Miao, X. Li, Y. Tian. 2008. Impacts of reforestation approaches on runoff control in the hilly red soil region of Southern China. Journal of Hydrology (2008) 356, 174–184
  18. Labrière, N., B. Locatelli, Y. Laumonier, V. Freycon, M. Bernoux. 2015. Soil erosion in the humid tropics: A systematic quantitative review. Agriculture, Ecosystems & Environment 203:127-139
  19. Razali, R. 2013. STUDI BAHAYA EROSI TANAH DENGAN METODE PEMETAAN CEPAT (RAPID MAPPING) DI SUB DAS CIMANUK HULU. Majalah Geografi Indonesia (28)2: 149-168
  20. Kusumandari, A., B. Mitchell. 1997. Soil erosion and sediment yield in forest and agroforestry areas in West Java, Indonesia. Journal of Soil and Water Conservation 25(2)
  21. Nearing, M. A. Y. Xie, B. Liu. Y. Ye. 2017. Natural and anthropogenic rates of soil erosion. International Soil and Water Conservation Research (5)2: 77-84
  22. Sugiyanto. 2010. TINGKAT EROSI TANAH DI KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI PROPINSI JAWA TENGAH. Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta
  23. Brockerhoff, E. G., H. Jactel, J. A. Parrotta, C. P. Quine, J. Sayer. 2007. Plantation forests and biodiversity: oxymoron or opportunity?. Biodivers Conserv 17: 925–951
  24. Carnus, J., J. Parrotta, E. Brockerhoff, M. Arbez, H. Jactel, A. Kremer, D. Lamb, K. O’Hara, B. Walters. 2006. Planted Forests and Biodiversity. Journal of Forestry : 57-77

Bacaan lebih lanjut

Evans, Julain. 2009. Planted Forest: Uses, Impacts, and Sustainability. CABI: United Kingdom

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.